Rabu, 14 September 2011

Keberkahan Hidup

Beberapa hari lalu saya mengunjungi salah satu klien kami seorang kiai. Pertemuan saya dengan beliau awalnya dari pameran yang diadakan perusahaan saya di salah satu instansi pemerintah daerah Bogor. Beliau mendatangi stand kami, dan dari situlah saya berkenalan dengannya. Seperti pepatah bilang, semakin merunduk padi semakin banyak bulirnya. Penampilan pak kiai setengah baya ini sangat sederhana, tidak banyak cakap tapi saya dapat merasakan aura nya sebagai seseorang yang berilmu dan berakhlak tinggi.
Pertemuan kedua saya, ketika beliau berkunjung ke kantor kami. Masih dengan kesederhanaan penampilannya, tapi sikapnya memancarkan wibawa seseorang yang disegani. Untungnya saya memiliki feeling yang kuat dalam menilai seseorang. Untuk orang yg melihat dengan kasat mata, pak kiai yg satu ini pasti tidak dilirik sebagai customer yang "menjanjikan".
Pertemuan ketiga saya ya itu, berkunjung ke rumah beliau untuk silahturahmi sekaligus menjalin relasi yg sudah terbentuk. Rumah beliau sederhana saja, tapi sangat sejuk. Kami bercakap-cakap biasa, dan tidak terlalu lama karena menjelang waktu shalat jum'at. Walau sebentar, saya sungguh terkesan. Tanpa wejangan apapun, saya merasa mendapat pencerahan. Yah, sungguh beruntung orang yang bisa mengisi hidupnya dengan banyak memberi. memberi tidak harus selalu dalam bentuk materi uang maupun barang. Memberi bisa dalam bentuk pengajaran, memberi tauladan, bersikap santun, murah senyum dan hal-hal positif lainnya. Jika kita banyak memberi ke sesama saya yakin hati kita akan bersih seperti pakaian yang habis dicuci dengan sabun hingga hilang nodanya. Hati kita yang sering terkena polusi godaan dunia (setan) membuatnya hitam seperti jelanga. Kalau ditanya jujur, semua orang pasti ingin jadi orang baik2. Tapi kenapa hanya sebagian orang saja yang berhasil? Saya yakin karena kita tidak atau belum mampu menggerakkan bathin kita menuju perubahan positif. Bahkan kadang untuk meminta kepadaNya saja kita sering lupa. Astaghfirullah.....
Saya bersyukur sekali dapat dipertemukan dengan orang seperti beliau. Mudah-mudahan Allah memanjangkan umurnya sehingga banyak orang lagi yang bisa mengambil tauladan dari sikap hidupnya. Amiin.

Jumat, 19 Agustus 2011

Mensyukuri Hidup

Hidup itu sepatutnya kita syukuri. Sekalipun manusia lahir ke bumi sudah dengan takdirnya masing-masing, tapi alangkah beruntungnya hidup ini jika setiap detik yang kita lalui bisa kita sikapi dengan rasa syukur kepadaNya.
Kesimpulan ini saya sadari penuh, setelah melalui perenungan dan pengalaman sendiri. Sering kali sebagai manusia kita protes, mengeluh selalu merasa kurang disana-sini. Gaji kurang, jabatan kurang, rejeki kurang, kebahagiaan kurang, rumah kurang bagus, mobil kurang gress, anak kurang pintar, istri / suami kurang memuaskan, teman2 kurang mendukung dan segudang keluhan2 yang akan banyak sekali kalau dibuat daftarnya.
Semua kekurangan yang kita rasanya sebenarnya bersumber dari kita sendiri. Perasaan tidak puas adalah sesuatu yang manusiawi. Tapi bagaimana cara kita mengolah perasaan negatif ini menjadi takaran yang logis adalah tugas kita.
Beberapa hari ini saya memiliki kesadaran tersebut ketika merasakan bahwa banyak sekali pemberian Tuhan yang tidak saya sadari. Kehadiran anak dan suami/istri sebagai pelengkap hidup adalah salah satu contoh yang sering lupa kita syukuri. Saya teringat salah satu client kami, seorang bapak yang bisa dibilang sukses hidupnya. Ayahnya kiai intelek terkenal di negeri ini, beliau sendiri adalah salah satu cendikiawan muslim yang juga memiliki karir penting di lingkungan akademik. Sepintas tidak ada yang kurang dari dirinya, tapi ternyata, 5 th pernikahannya beliau belum juga dikaruniai anak. Anak, bukankah mereka sumber cahaya dalam keluarga? Betapa seringnya kita mengabaikan anak, jarang mengajaknya mengobrol, bermain, atau sekedar mendengar keluh kesahnya di sekolah. Kadang sebagai orang tua kita merasa sudah bekerja keras untuk menghidupi anak, dan itu sudah menjadi bukti. Padahal bukan itu yang diminta!! Air mata saya menetes, mengingat anak saya yang kadang saya omeli hanya karena masalah2 sepele.
Itu hanya salah satu contoh. Kalau kita coba renungi, maka akan semakin banyak nikmat karunia Tuhan yang sudah diberikan tapi sering kita abaikan. Di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, tentu semakin mudah kita melakukan perenungan. Mudah-mudahan, selepas Ramadhan kita terlahir menjadi manusia baru yang lebih bijak dalam menyikapi hidup. Amiin.

Jumat, 10 Juni 2011

Let it flows,,

Well,,hampir setengah tahun saya absen menulis di blog ini. Ternyata jabatan yg baru saya pegang hampir setahun ini benar2 menguras stamina saya dan tentu,,,kantong saya,!!ha,,ha,,ha, Bagaimana tidak, untuk mencapai kantor, saya harus melewati 3 AKAP alias Antar Kota Antar Propinsi. Tapi itulah seninya, mungkin kalau jarak kantor saya dekat dengan rumah, alangkah bosannya menjalani rutinitas.
Bicara tentang bosan, banyak sekali contohnya. Misalnya bosan kerja, bosan belajar, bosan hidup (wah, ini yg paling berbahaya), bosan dengan pasangan kita, bosan dengan rutinitas sehari-hari dan segala macam bosan lainnya. Manusia memang tempatnya mengeluh. Belum setahun saya menduduki jabatan baru di kantor, saya mulai dihinggapi rasa bosan. Mungkin tepatnya merasa lelah. Bukan ke lelah fisik, tapi lebih ke lelah bathin. Lelah menghadapi bos yg tidak sejalan dalam mencapai visi sungguh menjengkelkan.
Hampir sepuluh tahun saya bekerja, nyaris selalu mendapat bos yg bisa memberi banyak inspirasi. Tapi kali ini,,,HHHhhhh,,,,saya merasa tidak memiliki siapa2. Ibarat sayur tanpa garam. Gregetnya tidak saya rasakan. Mungkin saya yg terlalu keras menuntut atau memang bos saya yang keras dengan kemauannya sendiri.
Dalam penegakan disiplin, bos saya terbilang payah. Kemampuannya lebih banyak di lip service saja, sementara tanggung jawab seperti dibebankan ke saya sebagai asistant manager. Nah, bagaimana saya bisa berhasil, wong anak buah berfikir, ah,,,gpp managernya aja ngga galak.
Dalam pemecahan masalah, kami kerap kali berbeda pendapat. Sekalipun pendapat saya benar, tetap saja beliau jalan dengan pendapatnya sendiri.
Pada awalnya saya sempat stress juga menghadapi sifatnya itu, karena selama ini pendapat saya seringkali didengar rekan-rekan kerja maupun atasan saya sebelumnya. Belakangan saya menyadari dan mulai memasang strategi. Saya tidak akan ikut campur terhadap semua kebijakan kantor, tidak mengeluarkan pendapat maupun saran apapun kecuali beliau yg meminta. Agak miris juga saya dengan keadaan ini. Well, saya nggak mau bekerja dengan "bete". Let it flows, biarlah semua berjalan..